Minggu, 29 April 2012

Dunia kearsipan tak banyak dilirik oleh sebagian masyarakat. Alasannya berkisar antara menjemukan dan tidak menghasilkan profit. Bagaimana tidak menjemukan, jika setiap hari hanya melihat dokumen yang bertumpuk. Tapi, saya pikir Pak Tani juga jemu dengan hidupnya yang hanya membajak, menanam dan menuai. Hanya semangat untuk mengabdi kepada ibu pertiwilah yang membuat mereka masih setia dengan cangkulnya.
Sama halnya dengan kearsipan. Arsip sungguh penting bagi perjalanan sebuah instansi. dengannya, sejarah bangsa dapat diungkap, kebijakan perusahaan bisa ditinjau dan dipelajari. Untuk itu, kearsipan tak boleh hanya dipandang sebelah mata hanya karena ia menjemukan. Jika dahulu orang bersusah payah mengabadikan sejarah di atas batu (prasasti), kita justru tak perlu bekerja sekeras itu untuk hal ini.
Arsip sebagai track record dari seuah instansi baik itu negara atau perusahaan, agaknya juga harus dikritisi. "Nothing is Impossible" di dunia ini. Begitu juga dengan dunia kearsipan yang bisa digunakan sebagai alat politik. Bukan su'udzon, tapi,  Who Knows?
Ambil saja contoh "kegegeran" tentang turunnya supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret). hal ini agaknya sudah memperbudak kearsipan. sampai sekarang, saya pun blm tau pasti siapa yang "me........" dan "di........". Mungkin, sepintas memang tak ada hubungan. tapi, bukankah surat pemindahan kekuasaan (apalagi jadi presiden) harus benar-benar sah.? oknum memang, namun, andai saja kearsipan tak dilihat sebelah mata, maka kearsipan jadi jauh lebih berkualitas. bayangkan saja, Jika ada yang mengambil/mencuri/ mengubah arsip/ keliru mengelola, mungkin yang tertulis sebagai penyobek bendera Belanda di Hotel Yamato bukan Bung Tomo tapi nama yang mengubah arsip itu. Hehehehehe. Wallahu'alam. yah, cuma opini.